Profesi seorang Dokter selalu disorot. Selain
berita positif, sering ada berita-berita mengenai ketidakbecusan Dokter dalam
menangani pasien, pasien yang melapor karena menjadi korban “malpraktek”, Rumah
Sakit yang dikatakan menolak pasien dan pada akhirnya akan ditarik kesimpulan
pukul rata: ORANG MISKIN TAK BOLEH SAKIT. Jadi, bagaimanakah sebenarnya
perjalanan seseorang hingga dapat menjadi penyembuh yang tidak boleh salah itu?
Adalah seorang kebanggaan menjadi mahasiswa
Fakultas Kedokteran (FK) yang terpandang dan untuk masuk harus menyisihkan
ribuan pendaftar. Apakah benar masuk selalu mahal sehingga ditebus denan
menarik biaya tinggi ke pasien setelah lulus? Tidak sepenuhnya benar. Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga angkatan 2010 yang lulus lewat jalur
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Nasional (SNMPTN) cukup membayar uang
masuk Rp. 1.032.500,- (331,14 Ringgit Malaysia) dan SPP Rp. 1.250.000,- (400,90
Ringgit Malaysia) setiap semester.
Selepas euforia diterima di Fakultas
Kedokteran, mulailah seorang mahasiswa kedokteran mempelajari ilmu-ilmu dasar
sebagai landasan mempelajari penyakit dan pengobatan. Begitu banyak yang harus
dilalui, mulai menahan bau formalin saat pratikum pembedahan cadaver (Mayat), merelakan diri untuk
saling berlatih mengambil dan memeriksa darah, urine (Kencing) serta feces (Kotoran
Manusia) dan kewajiban mengerti buku Kedokteran yang tebalnya ribuan halaman.
Para Dosen, Dokter dan Profesor yang rela mau meluangkan waktu untuk mengajar
mahasiswa mulai tingkat paling bawah.
Beberapa gugur, yang bertahan. Singkat kata,
Tiga Setengah Tahun terlewati dan luluslah dari Fakultas Kedokteran. Apakh
sudah selesai? Beum, perjuangan justru baru dimulai. Dengan gelar Sarjana
Kedokteran ditangan, para calon Dokter mulai bertugas di Rumah Sakit sebagai
Dokter Muda (DM) atau lazim disebut co-ass.
Serang co-ass bekerja magang di
Rumah Sakit untuk menangani pasien dibawah pengawasan Dokter-Dokter lain yang
sudah senior sehingga tidak benar apabia dikatakan pasien menjadi kelinci
percobaan.
Apabila melakukan kesalahan sedikit saja,
dokter muda tidak luput dari sanksi. Seorang Dokter Muda diwajibkan berada di
Rumah Sakit setiap hari, tidak peduli Minggu atau Hari Raya, juga menjalani
jadwal jaga. Jaga disini berarti tinggal di Rumah Sakit dan membantu merawat
pasien di Bangsal semalaman suntuk, sering tanpa tidur. Setelah itu dilanjutkan
dengan mengikuti laporan mengenai kondisi pasien pagi-pagi benar dan bertugas
lagi hingga sorenya. Boleh dikatakan hidup seorang Dokter Muda adalah di Rumah
Sakit dengan jam kerja yang sangat panjang, apalagi seperti di RSUD dr. Soetomo
yang menerima ribuan pasien setiap hari sebagai rujukan Indonesia Timur. Dokter
Muda itu harus menjalani Dua Tahun dengan tetap membayar uang kuliah. Semua itu
bagian dari pendidikan profesi yang harus dijalani sebelum layak menyandang
gelar “dr” didepan nama. Selesai menjalani Dokter Muda, para calon Dokter
tersebut dihadapkan kepada Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) yang
meliputi ujian tulis dan Praktek. Apabila lulus, resmilah dia menjadi seorang
DOKTER. Disini keprihatinan berlanjut, Dokter itu harus menjalani internship atau program penempatan ke
Rumah Sakit tipe C dan Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) di Kota-Kota
terpencil selama setahun. Bukan penempatannya yang menjadi masalah. Namun,
selama menjalani internship, Dokter
itu tidak boleh terlebih dahulu berpraktek sendiri. Mereka bekerja di Rumah
Sakit dengan gaji yang dipukul rata, yaitu Rp. 1.250.000,- (400,90 Ringgit
Malaysia) dan dibayarkan setiap Tiga Bulan (UMR buruh lebih tinggi, bukan)?
Masih dengan jam kerja yang panjang dan tidak
menentu ditambah tanggung jawab kepada pasien. Para Dokter itu harus menanggung
biaya hidup di “Kota Asing”. Selepas internship,
seorang dokter dianggap cukup memumpuni untuk berparaktek sendiri dan ada
beberapa pilihan. Salah satu diantaranya, menjalani PTT di Daerah-Daerah
terpencil atau menjalani pendidikan Dokter Spesialis. Meskipun ada begitu
banyak daerah terpencil diseluruh Indonesia yang masih kekurangan dokter, terpilih
menjadi Dokter PTT tidaklah mudah dikarenakan terbatasnya kuota. Kalau memilih
menjadi Dokter Spesialis, hampir seluruhnya harus dijalani tanpa gaji dengan
lama pendidikan bervariasi, 3-6 Tahun. Tanggung jawab dan beban kerja seorang
calon Spesialis juga jauh lebih berat lagi daripada seorang Dokter Muda atau
Dokter Internship.
Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk mengeluh
atau ingin disanjung. Tapi, mengingatkan bahwa seorang Dokter tidak dapat
bekerja sendiri. Untuk menciptakan sistem kesahatan yang baik dibutuhkan juga
sarana yang memadai. Janganlah dengan kapasitas Rumah Sakit yang terbatas semua
pasien miskin boleh berobat gratis dan
Rumah Sakit tidak boleh menolak pasien. Lalu, apabila ada yang terpaksa sekali
tidak terlayani dengan maksimal, itu semata-mata menjadi kesalahan Dokter dan
Rumah Sakit. Dokter membutuhkan rasa aman dalam bekerja dan akan sulit tercapai
apabila dalam melakukan tindakan selalu dibayang-bayangi ancaman tuntutan. Kadang
memang ada efek yang tidak diharapkan.
Meskipun begitu di kala para buruh berunjuk
rasa menuntut kenaikan UMR, apakah pernah kita dengar para Dokter protes karena
kenaikan gaji yang tidak memadai, pemberitaan yang tak berimbang atau beban
kerja yang terlalu berat? Hargailah perjuangan para Dokter yang rela
bertugas di Daerah terpencil samapai
tertular penyakit dan menjadi korban konflik. Dengarkanlah suara para Dokter di
tengah gencarnya program kesehatan pemerintah. Bagaimanapun, Dokter akan selalu
melayani. Sebab, semuanya sudah terucap dalam Sumpah di bawah Kitab Suci: “SAYA
AKAN SENANTIASA MENGUTAMAKAN KESEHATAN PENDERITA”.
Sumber: dr. Olivia Listiowati Prawoto (dr.olivia.lp@gmail.com) serta Koran
Radar Sulteng (Jawa Pos Group) Edisi Senin, 25 Maret 2013